-->

Iklan Billboard 970x250

Peringatan Hari Besar Islam itu Bid'ah? ;Pandangan Sebagian Ulama Mengenai Hukum Peringatan Hari Besar Islam

Peringatan Hari Besar Islam itu Bid'ah? ;Pandangan Sebagian Ulama Mengenai Hukum Peringatan Hari Besar Islam

Hari besar merupakan salah satu momentum yang sering diingat oleh sebagian masyarakat. Mengapa demikian, karena pada momen tersebut masyarakat mengingat kembali satu peristiwa besar atau Agung yang membuatnya rindu untuk kembali kepada masa itu. Oleh karenanya, sebagian masyarakat mengekspresikan kerinduan tersebut dalam sebuah perayaan di hari di mana peristiwa itu terjadi. 

Seiring berkembangnya zaman, perayaan Hari besar semakin berkembang dengan segala inovasinya. Perkembangan inilah yang terkadang membuat sebagian masyarakat lupa akan esensi dari Hari Besar tersebut. Sebagai contoh, perayaan kemerdekaan Republik Indonesia dengan mengundang Artis Sexy dan berjoget bersamanya. Perayaan semacam ini apabila dilihat dari kacamata seni memang tidak terlalu di permasalahkan. Namun, apabila di lihat dari kacamata Nasionalisme esensi dari perayaan tersebut tidak ada.

Lalu, bagaimana dengan perayaan Hari Besar Islam? Apakah perayaan yang menghadirkan esensi bisa diterima secara dalil atau sebaliknya karena tidak ada di zaman Rasul?

Peringatan hari besar Islam merupakan salah satu momen yang sering di dilakukan dengan cara mengundang masyarakat untuk merayakan peristiwa tersebut secara bersama-sama. Mayoritas masyarakat Muslim khususnya Indonesia merayakan momen tersebut dengan menghadirkan pada Asatidz atau Ulama untuk mengulang peristiwa pada hari tersebut dengan cara menceritakan kembali peristiwa-peristiwa Agung yang terjadi pada masa itu. 



Perbedaan pendapat merupakan satu hal yang biasa mewarnai setiap permasalahan. Begitu pula dengan peringatan Hari Besar Islam utamanya pada perayaan Maulid Nabi. Maulid Nabi merupakan salah satu momen yang sering di ingat dengan cara pembacaan Sirah Nabawiyah atau pembacaan maulid Barzanji, Diba dan lain sebagainya. Namun, ada sebagian tokoh yang mempermasalahkan akan peringatan Hari besar ini. Argumen yang sering di lontarkan oleh sebagian tokoh ini adalah “Peringatan Maulid atau Hari Besar Islam itu tidak di contohkan oleh Nabi Saw”. Lalu bagaimana kita menyikapi hal tersebut? Sikap kita terhadap tokoh tersebut ya kita hargai pendapatnya. Namun, untuk kita yang terbiasa melaksanakan peringatan Maulid Nabi atau hari besar Islam lainnya pun harus memahami dasar-dasar mengapa kita melaksanakan peringatan tersebut. Untuk itu kita akan bahas bersama-sama di bawah ini. 

Ada satu Hadits yang mengisyaratkan diperbolehkannya merayakan satu momen atau peristiwa yang dianggap penting. Tentunya dengan cara yang positif dan menghadirkan manfaat Fi ad-Dunya wal Akhirah.

وسئل عن صوم الاثنين ؟ (قال ذاك يوم ولدت فيه ويوم بعثت ) أو أنزل علي فيه

“Rasulullah Saw ditanya tentang puasa hari Senin. Beliau menjawab, “Pada hari itu aku dilahirkan dan hari aku dibangkitkan (atau hari itu diturunkan [al-Qur’an] kepadaku)”. (HR. Muslim).

Hadits tersebut sebenarnya sudah menjelaskan bahwa merayakan satu momen dengan hal yang positif dan menghadirkan manfaat itu tidak di larang. Namun, sebagian orang sering menafsirkan satu kalimat atau kata itu hanya terbatas pada kata-nya saja, tidak pada pengembangan kata atau kalimat tersebut. Oleh karena itu, ada satu pandangan Ulama yang mengatakan seperti ini:

ورأيى أنه لا بأس بذلك فى هذا العصر الذى كاد الشباب ينسى فيه دينه وأمجاده، فى غمرة الاحتفالات الأخرى التى كادت تطغى على المناسبات الدينية ، على أن يكون ذلك بالتفقه فى السيرة ، وعمل آثار تخلد ذكرى المولد، كبناء مسجد أو معهد أو أى عمل خيرى يربط من يشاهده برسول اللّٰه وسيرته 

“Menurut pendapat saya, boleh memperingati maulid nabi pada saat ini ketika para pemuda nyaris melupakan agama dan keagungannya, pada saat ramainya perayaan-perayaan lain yang hampir mengalahkan hari-hari besar agama Islam. Peringatan maulid tersebut diperingati dengan memperdalam sirah (sejarah nabi), membuat peninggalan-peninggalan yang dapat mengabadikan peringatan maulid seperti membangun masjid atau lembaga pendidikan atau amal baik lainnya yang dapat mengaitkan antara orang yang melihatnya dengan Rasulullah Saw dan sejarah hidupnya”.

Pandangan tersebut di keluarkan oleh ‘Athiyyah Shaqar, beliau pernah menjadi ketua Komisi Fatwa Al-Azhar Mesir. Pendapat yang sama di kemukakan oleh Syekh Yusuf al-Qaradhawi, beliau merupakan ketua al-Ittihâd al-‘Âlami li ‘Ulamâ’ al-Muslimîn. Beliau berpendapat “Peringatan maulid Nabi merupakan salah satu sarana bagi kaum Muslimin untuk mengingatkan kembali manusia akan makna-makna hidup yang mulia yang di lakukan oleh Rasul Saw. Saya yakin bahwa hasil positif di balik peringatan maulid adalah mengikat kembali kaum muslimin dengan Islam dan mengeratkan mereka kembali dengan sejarah Nabi Muhammad Saw agar mereka bisa menjadikan Rasulullah Saw sebagai suri tauladan. Adapun hal-hal yang keluar dari semua ini, maka semua itu bukanlah perayaan maulid nabi dan kami tidak membenarkan seorang pun untuk melakukannya”.

Dari Hadits dan pandangan Ulama terhadap peringatan Hari besar Islam di atas, menunjukkan bahwa mengingatkan kembali manusia pada nilai-nilai kemuliaan atau suri tauladan yang di contohkan Baginda Nabi Saw itu di perbolehkan. Karena, Peringatan maulid Nabi atau peringatan hari besar Islam lainnya tidak lebih dari sekedar ekspresi kegembiraan seorang hamba atas nikmat dan karunia Allah yang amat besar. Sehingga, tibalah pada kesimpulan bahwa merayakan Hari besar Islam dengan cara yang positif dan menghadirkan makna itu di anjurkan karena dengan wasilah peringatan tersebut manusia kembali diingatkan akan kemuliaan- kemuliaan atau tauladan yang harus ditiru kaum muslimin pada masa kini. 

Agar pemahamannya lebih luas, saya sarankan untuk datang kepada guru atau Ustadz terdekat sobat sekalian yang memang kompeten dibidangnya, sekaligus sebagai verifikasi karena dikhawatirkan ada di antara uraian di atas yang tidak sesuai dengan apa yang dijelaskan Ulama. Karena ada satu kalimat yang harus jadi pertimbangan yaitu ”Man la lahu syaikhun, fasyaikhuhu syaithanun” Barang siapa yang belajar tanpa (dibimbing) seorang guru maka gurunya adalah syetan. Hal ini harus dilakukan karena apabila ada MisUnderstanding, guru kita bisa meluruskannya.

Bagi sobat yang ingin mengetahui lebih lanjut bisa check Referensinya di Buku “37 Masalah Populer; H. Abdul Somad, Lc., Ma.”.

Happy Learning … Keep Spirit … Do More Get More


Baca Juga
SHARE
Subscribe to get free updates

Related Posts

Post a Comment

Iklan Tengah Post